Catatan dari Obrolan Santai Bersama Qaris Tajudin

Catatan dari Obrolan Santai Bersama Qaris Tajudin

Beberapa pertemuan tak pernah kita rencanakan, tapi membawa bekas yang dalam. Jumat malam, 20 Juni lalu, saya berada di tengah keramaian International Book Fair di JCC, dan untuk pertama kalinya, saya benar-benar berbincang (meski singkat) dengan salah satu penulis yang saya kagumi: Mas Qaris Tajudin.

Acara malam itu berjudul “Obrolan Pelan-Pelan Soal Tuhan”, sebuah talk show yang tenang dan penuh makna. Mas Qaris hadir sebagai pembicara, dan Mbak Indry menjadi moderatornya.

Sebenarnya, Baik Mas Qaris maupun Mbak Indry, keduanya pernah saya temui dalam waktu dan ruang yang berbeda. Malam itu, saya dipertemukan kembali dengan keduanya.

Momen itu terasa seperti puzzle yang lengkap. Saya pernah mendengar Mas Qaris berbicara dalam acara IIBF 2023 di ICE BSD membahas soal AI dan masa depan jurnalisme, tapi saat itu saya hanya menjadi penonton yang duduk di bangku belakang. Kali ini, berkat dorongan (dan keberanian kecil) dari Mbak Indry, saya berhasil menyapa dan bahkan mendapatkan tanda tangan langsung dari beliau.

Ada yang Mengendap dari Percakapan Itu

Dalam obrolan tersebut, Mas Qaris banyak berbicara tentang bukunya “Pertanyaan-Pertanyaan untuk Tuhan”. Ia mengajak kita, para pendengar, untuk tidak takut bertanya. Tentang apapun. Bahkan tentang Tuhan.

“Kita tidak dididik untuk bertanya. Kita selalu dididik untuk menjawab.”

“Bertanya itu penting, bahkan tentang agama. Bertanya bukan untuk meragukan, beda. Bertanya adalah untuk mendapatkan jawaban yang lebih kuat.”

Bagi saya, kutipan itu bukan sekadar rangkaian kata. Ia seperti mengetuk pintu dalam kepala saya. Mengajak saya mengingat kembali: sejak kapan kita berhenti bertanya? Dan mengapa kita tidak kritis seperti dulu lagi?

Sebuah Buku yang Tidak Menggurui

Buku ini memang bukan novel, tapi gaya berceritanya terasa seperti novel. Dalam salah satu sesi, Mbak Indry membacakan bagian favoritnya. Yaitu dialog antara profesor filsafat dan Pak Khidir yang membuat saya berhenti scrolling dan menyimak lebih dalam.

"Tapi saya berpikir, ini suasana yang agak aneh. Seorang profesor filsafat dengan pemikiran sangat modern dan bacaan luas itu duduk berzikir khusyuk layaknya seorang sufi.
Sepertinya apa yang dia lakukan saat ini bertentangan dengan pemikiran yang dia sampaikan kemarin," imbuh Pak Khidir.
Setelah beberapa menit berzikir, mereka istirahat. Profesor itu kemudian mencondongkan tubuhnya ke Pak Khidir dan bertanya, "Kamu pasti kaget kenapa saya melakukan ini."
Profesor itu menjelaskan bahwa hal ini umum dilakukan oleh para profesor filsafat di Universitas Al Azhar.
"Ini adalah salah satu upaya kami untuk mencari keseimbangan," kata sang profesor.
"Keseimbangan apa?" tanya Pak Khidir.
"Keseimbangan antara apa yang terjadi di sini - katanya sambil menunjuk kepala - dan apa yang terasa di sini - katanya sambil menunjuk dada.”

Keseimbangan. Kata yang sederhana, tapi sering kali terabaikan dalam hidup kita yang penuh desakan logika, target, dan algoritma.

Saya pulang malam itu dengan senyum kecil. Tidak hanya karena berhasil dapat tanda tangan dan foto bareng, tapi karena saya merasa telah ‘dipeluk’ oleh satu pertemuan yang membuat saya ingin lebih banyak bertanya. Bertanya bukan untuk membantah, melainkan untuk lebih banyak memahami.

Terima kasih Mas Qaris. Terima kasih Mbak Indry. Dan terima kasih Tuhan, karena sudah mempertemukan kami malam itu.

2 komentar untuk "Catatan dari Obrolan Santai Bersama Qaris Tajudin"

Comment Author Avatar
Keren sekali.
Pertanyaan-pertanyaan yang kadang kita takutkan, namun perlu untuk mendalami sesuatu.
Karena terlalu banyak yang tidak kita ketahui.
Salam
Comment Author Avatar
Setuju. Bertanya untuk menghadapi persoalan secara jujur agar tidak mengganjal di hati.
Seedbacklink