Tempat Ngopi dan Orang Mabuk, Ternyata Kita Peduli Omongan Orang Lain

Coffee (Gambar oleh 8photo on Freepik)

Suatu hari, saat gue lagi ngopi seperti biasa di warung favorit, ada seorang yang sedang mabuk datang ikut menimbrung. Saat itu, ada juga seorang teman yang kebetulan mampir untuk ngopi bersama. Tidak biasanya dia datang untuk ngopi, tetapi saat itu dia hadir di tempat itu.

Tiba-tiba, si orang yang sedang mabuk itu meminta sebatang rokok kepada teman. Lalu membakarnya secara perlahan. Rokok Sampoerna Mild. Itulah yang ia hisap.

“Rokok mahal” kata gue yang merokok kretek. Entah mengapa gue mengatakan itu. Mungkin untuk mencairkan suasana yang sepi dari obrolan.

Lalu, tanpa diduga, si orang mabuk angkat bicara.

“Dik, kamu harus cari kerja” Ya, buat yang belum tahu, namaku Dika.

“Abang lihat kamu sering banget dateng ke warung ini. Bahkan, malam minggu. Memangnya kamu gak punya pacar buat diapelin?”

Gue diam, mencoba mencerna pertanyaan itu.

“Emangnya si Dika sering dateng ke warung ini bang? hehehe” tanya teman yang sedari tadi duduk di sebelah.

“Iya, tiap abis maghrib. Duduk aja sendirian di sini.”

“Hahaha ngapain lu Dik maghrib maghrib di sini?” respon si teman. Gue seperti bisa ditebak, masih belum bisa menjawab. Mencerna apa yang tengah dibahas.

“Yaa gue ke sini mah nyari inspirasi aja. Di rumah gue kan pusing ngetik terus.” Jawaban itulah yang keluar dari mulut gue kala itu.

Sebenarnya, ada jawaban lebih panjang yang ingin gue utarakan waktu itu. Namun, gue bingung, apakah jika gue jelaskan mereka akan mengerti? Ditambah yang gue hadapi adalah orang yang lagi mabuk dan satu teman yang gue yakin kurang paham tentang profesi freelance content writer.

Akhirnya, gue memutuskan kalimat barusan sebagai satu-satunya jawaban.

Suasana hening kembali. Gue kembali sibuk dengan ponsel dalam genggaman, si teman juga sibuk dengan game online yang ia mainkan, dan si orang mabuk sibuk menghisap rokoknya yang tinggal setengah. Menghisapnya dengan penuh penghayatan.

“Dika harus cari kerja. Usia udah segini, udah berapa sekarang?”

“Emh 26” kata gue.

“Tuh kan 26, bentar lagi nikah.” Percakapan pun kembali ke arah gue.

“Saya nunggu Tomi nikah duluan bang he he he” jawab gue sekenanya. Sambil menunjuk ke teman di sebelah yang kebetulan namanya Tomi. Maaf baru menyebutkannya di sini.

“Apaan gue mah nyantai” Jawab si Tomi. yang usianya 2 tahun lebih tua dari gue. Pertanyaan soal nikah ini lebih tepatnya ditujukan kepada si Tomi gak sih?

“Jangan nyantai-nyantai. Nih coba hitung, sekarang kamu udah 28, terus nikahnya di usia berapa? Nanti anak kamu pas usia sekian kamu udah usia sekian, blablabla”

***

Gue yakin di antara kalian yang membaca ini tidak asing kan dengan ungkapan di atas? Tanpa perlu gue jabarkan secara terperinci.

Singkat cerita, orang yang sedang mabuk itu terus berbicara dan terus berbicara. Sambil memberikan nasihat dan petuah bertubi-tubi kepada gue yang sebetulnya tengah …. anteng ngopi.

Ditambah si Tomi yang menimpali kalimat demi kalimat yang tendensinya menyudutkan gue. Don’t get me wrong, gue sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan kedua orang itu. Gue bahkan respect dengan abang yang sedang mabuk itu dan teman yang kebetulan ada di sana.

Namun, yang gue petik dari kejadian itu adalah kesadaran. Ada dua kesadaran yang akhirnya timbul saat gue menulis catatan ini.

Pertama, kesadaran bahwa perkataan orang lain bukanlah diri kita, melainkan cerminan dari kondisi orang tersebut.

Gue tentu saja bukan pengangguran (meskipun tidak masalah jika harus disebut pengangguran. Gue bukan orang yang membanggakan kesibukan. Banyak orang sibuk gak menghasilkan apa-apa, kan?) Namun, perbincangan kala itu seolah menyiratkan bahwa gue adalah seorang pengangguran.

Setiap hari kerjaannya ngopi. Abis maghrib ngopi sendirian. Mungkin dari situlah timbul kesimpulan bahwa gue nganggur dan setiap hari minta duit ke orang tua.

Apakah benar begitu? Ya, jelas nggak. Gue menghasilkan duit dari tulisan. Bahkan, beberapa teman yang kerja (gue sebut kerja karena kedua orang dihadapan gue mungkin tidak menganggap freelancer sebagai pekerjaan juga) kalau lagi tidak punya uang buat beli pulsa atau ongkos, minjem uangnya ke anak tukang ngopi maghrib-maghrib ini.

Kedua, kesadaran bahwa kita peduli pada omongan orang lain. Kita ternyata memang benar-benar makhluk sosial. Sebodo-bodo amatnya perangai gue, ternyata masih saja mempertimbangkan persepsi orang lain.

Gue akhirnya memutuskan untuk jarang-jarang ngopi di tempat itu. Mungkin satu bulan sekali. Bukan apa-apa, gue hanya tidak ingin dipersepsikan macam-macam. Gue secara pribadi memang tidak masalah dipersepsikan aneh-aneh, tapi kalau persepsi itu berdampak ke orang terdekat gue, misalnya? kayaknya nggak deh.

Udah gitu, gue sih gak rela kalau aktivitas minum kopi gue harus terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran yang menganggu. Gue udah berusaha membatasi diri pada kopi dan tidak minum minuman beralkohol. Kalau secangkir kopi aja masih harus terenggut, kebangetan sih.

Jadi, cerita tentang orang mabuk dan warung kopi favorit menghasilkan lintasan pikiran akan kesadaran di atas. Ternyata kita memang peduli dengan pemikiran orang lain.

Posting Komentar untuk "Tempat Ngopi dan Orang Mabuk, Ternyata Kita Peduli Omongan Orang Lain"

Seedbacklink