Resensi Buku Mbah Nun: Allah Tidak Cerewet Seperti Kita

Sumber: mizanstore.com


Mudahkan, jangan mempersulit, beri kabar gembira, jangan membuat manusia menjauh (dari kebenaran), dan saling membantulah, jangan berselisih. – HR Bukhari dan Muslim


Judul Buku: Allah Tidak Cerewet Seperti Kita

Penulis: Emha Ainun Nadjib

Jumlah halaman: 238

Penerbit: Noura Books

Tanggal-bulan-tahun diterbitkan: Agustus 2019 (Cetakan ke-3)

ISBN: 978-602-385-812-5

Blurb: Buku ini merupakan kumpulan ceramah Mbah Nun di berbagai majelis. Tema-tema ceramah yang dipilih terkait hakikat ajaran Islam yang luwes dan tidak menyulitkan – jauh dari kesan yang ditimbulkan oleh sikap dan perilaku sebagian umat Islam masa kini.


***


Allah Tidak Cerewet Seperti Kita bisa dibilang merupakan buku yang unik. Pernyataan-pernyataan di dalam buku ini kuat dan berani. Cukup kuat untuk menyentil ego kita yang masih kaku dalam memahami ajaran agama.


Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan mengulas beberapa poin yang menarik menurut saya (seperti biasa). Semoga dari poin-poin tersebut ada pelajaran yang bisa kita ambil. Ada apa saja, ya? Simak ulasannya di bawah ini.


1. Yang penting kamu itu terlihat berusaha

Poin pertama yang menarik dari buku ini adalah tentang perubahan. Bagaimana Mbah Nun menyebut bahwa perubahan primer itu datangnya dari Allah, bukan manusia. Meskipun Allah tidak mengubah nasib seseorang kecuali orang tersebut mengubah nasibnya sendiri, namun, menurut Mbah Nun hal tersebut jangan dipahami secara harfiah. Sebab, nanti kita bisa kurang ajar sama Allah.


Nantinya kita bisa bilang, “Tuhan, gimana sih? Kalau saya sudah mengubah nasib saya, untuk apalagi Kau-ubah?” - hal.13


Kemudian, Mbah Nun melanjutkan, “Kalau menurut saya, dalam ayat itu, sebenarnya Allah mau bilang begini, ‘yang penting kamu itu terlihat sembahyang, terlihat berusaha, terlihat kerja'. Kamu pamit ke istri dan anakmu berangkat kerja pukul delapan pagi, pulang pukul lima sore – terlepas sebenarnya kamu itu ngapain di luar rumah – itu sudah lumayan. Sudah terlihat berusaha ke luar rumah. Yang penting terlihat keringatan. Soal hasilnya, itu nanti urusan-Ku." hal.13


Dengan pemahaman ini, kita jadi sadar kalau kita ini tidak punya kapasitas apa-apa. Tidak punya daya apa pun. Namun, pada saat yang sama, kita juga merasakan kekuatan dan optimisme karena merasa memperoleh dukungan dari Allah. Yang penting kamu itu terlihat berusaha adalah ungkapan bahwa Allah akan mendukung seorang hamba yang berusaha, tetapi perubahan primer yang terjadi tetaplah atas kehendak Allah.


2. Di mana letak yakin dan imanmu?

Poin kedua yang menarik adalah tentang keyakinan bahwa amalan kita diterima oleh Allah. Seringkali, yang membuat seseorang enggan untuk beribadah adalah karena merasa ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah, terutama jika orang tersebut masih sering melakukan maksiat. Hal ini juga seringkali membuat seseorang tidak bisa menikmati ibadahnya.


Saya yakin Allah punya skenario. Allah sedang bekerja. Ya fa’al, ya fa’al, fa’al limaa yuriid. Allah sedang bekerja sangat keras hari ini. Saya tidak tahu skenario-Nya, saya bingung pada adegan-adegan-Nya, tapi saya yakin ending-nya akan baik. Kita harus yakin seperti itu. Kita harus yakin bahwa Allah punya skenario terbaik untuk kita semua dan Allah pasti menerima semua amalan kita. Kuncinya, kita harus terus yakin dan yakin. - hal.18


Sudah nikah, sudah berusaha bikin anak, kok masih “mudah-mudahan pernikahan kita diridhai Allah”, Ya, diridhai lah. Masa Anda tidur dengan suami atau istri Anda sendiri, yang sudah sah secara agama masih ragu bakal diridhai, apa enggak? Kalau begitu, letak yakinmu di mana? Letak imanmu di mana? - hal.18


Begitulah. Namun, hemat saya, pembaca juga perlu mawas diri. Jangan sampai ke-PD-an kalau semua amalan itu diterima. Dalam beribadah, harus pertengahan antara khauf dan raja’, takut tidak diterima dan pada saat yang sama berharap untuk diterima. Apa yang disampaikan oleh Mbah Nun dalam paragraf di atas adalah obat untuk mereka yang mulai putus harapan. Merasa tidak akan diterima oleh Allah.


3. Kebenaran itu urusan dapur

Poin ketiga yang menarik adalah tentang kebenaran itu urusan dapur. Setiap dari kita pasti punya kebenaran masing-masing yang kita yakini dan kita perjuangkan. Namun, berekspektasi orang lain akan meyakini dan melakukan kebenaran versi kita akan berpotensi menimbulkan konflik. Dalam bermasyarakat, yang dibutuhkan adalah mufakat. Bahkan, menghindari perpecahan itu lebih diutamakan dari mufakat.


“Saya ini punya kebenaran, yang menurut saya Indonesia harusnya begini, begitu, sejak persiapan kemerdekaan begini, begini, begini. Tapi, saya tidak pernah ngomong karena tidak pernah membayangkan Indonesia akan berjalan seperti yang saya yakini dalam kebenaran saya. Saya menyesuaikan diri dengan siapa pun untuk mencari kebenaran bersama. Ibarat tawar-menawar, kalau penjual maunya harga seratus ribu, sementara pembeli maunya lima puluh ribu, kita harus cari tujuh puluh lima ribu….” - hal.194


Kebenaran itu urusan dapur juga merupakan pengingat bahwa apa pun yang kita yakini output-nya haruslah akhlakul karimah (akhlak yang baik). Karena, esensi dari ajaran agama adalah akhlak yang baik. Tujuan dari ibadah yang kita lakukan salah satunya adalah melatih kita berbudi pekerti yang luhur.


4. Menjadi Pendekar Kehidupan

Poin berikutnya yang tidak kalah menariknya adalah tentang menjadi pendekar kehidupan. Mbah Nun menjelaskan hal ini melalui contoh puasa. Sebagai manusia, kita pastinya tidak suka rasa lapar. Kita suka makan, minum, dan merokok, tetapi kita menahan semua itu ketika berpuasa. Nah, di situlah letak kemuliannya. Orang yang bisa disebut mulia itu adalah orang yang mau melakukan apa yang dia tidak sukai, meskipun sebetulnya itu baik baginya.


Tanda kedewasaan dan kependekaran, adalah kalau seseorang sudah rela melakukan sesuatu yang dia tidak sukai atau rela tidak melakukan sesuatu yang dia sukai. - hal.67


Jadi, untuk menjadi pendekar kehidupan kita harus melatih diri untuk mau melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, karena boleh jadi hal itu baik bagi kita. Atau, kita tidak melakukan sesuatu, meskipun hal itu kita sukai. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat disebut sebagai manusia dewasa. Insan kamil.


5. Khataman Hidup

Dalam buku ini, Mbah Nun menyebut bahwa perihal khatam itu tidak melulu soal membaca al-Qur'an. Sebagai contoh, petani yang setia dengan tanaman, cangkul, dan tanahnnya, itu pun dapat disebut khatam. Seorang bupati yang lama menjabat tapi tidak memakan uang rakyat dan menjalankan tugasnya dengan baik, itu juga bisa disebut khatam. Atau, suami-istri yang saling setia puluhan tahun, itu pun bisa disebut khatam.


Khataman tidak selalu dalam arti formal menyelesaikan pembacaan al-Qur'an, tapi dalam arti menjalankan tugas dan perannya dengan mutu atau kualitas sebagaimana orang khatam al-Qur'an. - hal.235


Jadi, apa pun profesi kita, selama kita menjalaninya dengan konsisten dan bersungguh-sungguh, itu adalah khatam.


Itulah lima poin menarik yang dapat saya tulis pada kesempatan ini. Sebenarnya, masih banyak poin menarik lainnya dalam buku ini. Sudah baca buku Allah Tidak Cerewet Seperti Kita juga?


Posting Komentar untuk "Resensi Buku Mbah Nun: Allah Tidak Cerewet Seperti Kita"

Seedbacklink