Islam Politik vs Islam Kultural: Dua Wajah Islam Indonesia yang Terus Bergerak
Kalau kita bicara tentang Islam di Indonesia, sering muncul anggapan bahwa Islam kita itu adem, ramah, dan, santun. Bahkan majalah Time dan Newsweek pernah menyebutnya sebagai “Islam with a smiling face”, Islam dengan wajah tersenyum.
Tapi, apakah benar sesederhana itu?
Prof. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, Islam punya dua wajah besar yang terus berdialektika: Islam Politik dan Islam Kultural. Keduanya tidak sedang bertengkar, tapi kadang saling tarik-menarik di ruang publik.
Mari kita lihat bedanya dengan kaca mata yang lebih santai.
1. Islam Politik: Ketika Agama Masuk ke Arena Kekuasaan
Bayangkan Islam Politik sebagai pemain sepak bola: Islam Politik adalah tim yang ingin main langsung di lapangan politik.Kelompok ini percaya bahwa:
- Negara ideal adalah yang menerapkan syariat,
- Hukum Islam seharusnya diatur oleh negara,
- Politik adalah bagian penting dari ajaran Islam.
Dalam sejarah Indonesia, wajah Islam Politik muncul lewat:
- Partai Masyumi dan NU di era 1950-an,
- PPP di masa orde baru,
- hingga PBB dan PKS di era Reformasi.
Namun, tidak semua Islam Politik berbaju partai. Ada juga kelompok non-parlemen yang lebih keras dan menolak sistem politik Indonesia. Misalnya:
- DI/TII - NII,
- Laskar Jihad,
- FPI,
- Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
- dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Bahkan kelompok seperti Jemaah Islamiyah (JI) pernah mencuat karena aksi kekerasan yang berhubungan dengan terorisme.
2. Islam Kultural: Mengubah Masyarakat dari Akar Rumput
Kalau Islam Politik itu pemain bola, Islam Kultural adalah pelatih, guru, dan motivator yang bekerja di luar lapangan.
Islam Kultural fokus pada:
- Pendidikan
- Dakwah damai
- Pemberdayaan ekonomi
- Kesehatan masyarakat
- Kegiatan sosial dan budaya
Ini adalah Islam yang membangun dari bawah, melalui perubahan sosial, bukan lewat undang-undang atau kekuasaan.
Snouck Hurgronje (peneliti Belanda) dulu menyebutnya “Islam Ibadah” yaitu Islam keseharian yang aman bagi pemerintah kolonial. Sekarang kita menyebutnya Islam kultural, dan inilah warna terbesar Islam Nusantara.
3. Masalahnya Muncul Ketika Politik Dibawa Terlalu Jauh
Prof. Azra menjelaskan bahwa beberapa kelompok Islam Politik (terutama yang radikal) menggunakan cara-cara konfrontatif.
- Menganggap sistem politik tidak Islami,
- Memaksakan pendirian negara Islam,
- bahkan melakukan kekerasan.
Masalah ini semakin besar setelah 1998, ketika demokrasi membuka pintu bagi semua ekspresi, termasuk yang radikal. Penegakan hukum yang lemah membuat sebagian kelompok merasa bisa “mengambil alih” peran negara.
Inilah yang membuat wajah Indonesia kadang tampak tegang.
4. Lalu, Mengapa Islam Kultural Perlu Diperkuat?
Menurut Prof. Azra, jawabannya sederhana: Karena Islam Kultural adalah wajah asli Islam Indonesia. Ia lahir dari tradisi panjang masyarakat Nusantara yang damai, ramah, dan terbuka.
Islam Kultural:
- Tidak memaksa,
- Tidak mengancam,
- Tidak memaksakan syariat melalui negara,
- tapi tetap mengajarkan nilai Islam melalui pendidikan dan budaya.
Inilah Islam yang membuat dunia mengenal Indonesia sebagai rumah bagi Islam moderat.
5. Peran Besar Muslim Moderat
Karena mayoritas Muslim Indonesia adalah moderat (tercermin dari NU, Muhammadiyah, ormas-ormas lain) Prof. Azra mengajak masyarakat untuk:
- Lebih vokal menolak radikalisme,
- Mendukung penegakan hukum yang adil,
- Tidak terpancing narasi bahwa menangkap teroris berarti “memusuhi ulama”.
6. Kesimpulan: Saatnya Menghidupkan Lagi “Islam dengan Wajah Tersenyum”
Indonesia punya modal besar: Islam yang damai, ramah, toleran, dan cerdas. Prof. Azra menyebut ini sebagai warisan besar Islam Nusantara, dan kita wajib menjaganya.
Saat dunia resah oleh ekstremisme, Islam Indonesia justru bisa tampil sebagai contoh ajaran salam yang humanis dan terbuka terhadap modernitas.
Dan untuk itu, Islam Kultural harus tetap kuat sebagai fondasi.[]
*Refleksi dari artikel Prof. Azyumardi Azra berjudul Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural.


Posting Komentar untuk "Islam Politik vs Islam Kultural: Dua Wajah Islam Indonesia yang Terus Bergerak"
Posting Komentar